Jumat, 03 September 2010

KAMPUNG KUTA

Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan memegang budaya pamali (tabu), untuk menjaga keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu yang menonjol adalah dalam hal pelestarian hutan, sekaligus mempertahankan kelestarian mata air dan pohon aren untuk sumber kehidupan mereka. Karena penghormatan yang tinggi terhadap hutan, warga Kampung Kuta yang hendak masuk ke kawasan hutan tidak pernah mengenakan alas kaki. Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik.
Secara administratif, Kampung Kuta berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kecamatan Tambaksari, tepatnya di dalam Desa Karangpaningal. Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat, dan di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijulang, yang sekaligus merupakan perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum ke Kecamatan Rancah. Sedang dari Kecamatan Rancah menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum atau ojeg, dengan kondisi jalan serupa.

Upacara Adat Nyuguh

Sesuai warisan leluhur, acara nyuguh itu harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jateng. Pernah satu kali acara nyuguh tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah. Padi yang siap panen rusak parah, sedangkan sejumlah hewan ternak ditemui mati menggelepar. Warga menyakini kerusakan itu terjadi karena “utusan” Padjadjaran itu tidak disuguhi makanan. Alhasil mereka pun mencari makanan sendiri dengan cara merusak kampung.
Adapun perjalanan ke Sungai Cijolang sekitar lima kilometer. Kini, Pak Kuncen pun kembali memulai ritual.
Doa kembali dipanjatkan sebelum warga menyantap makanan yang tersedia. Setelah berdoa, seluruh warga kemudian menyantap makanan yang dibawa dari kampung. Makanan khas yang harus ada setiap upacara.
Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya.

Sejarah Kampung Kuta Ciamis

Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama “Tenjolaya”. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana.
Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy. Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara. Tempat Aki Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya.
Di Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi. Diceritakan bahwa bekas kampong Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela. Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”. Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta. Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa “Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu.” Ternyata, hingga saat ini rakyat di Kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.
Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut. Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mitis. Hingga saat ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan sebagai kampung adat atau petilasan. Masyarakatnya masih memelihara dan melestarikan tradisi-tradisi leluhur mereka. Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu, seperti larangan membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal paha, larangan menggali sumur terlalu dalam, larangan mementaskan wayang, larangan meminum minuman keras, tidak boleh sombong atau menentang adat kuta, dan sebagainya.
Dengan masih bertahannya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang berada di Ciamis ini, sepatutnya harus kita banggakan, karena dengan adanya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang masih bertahan menunjukkan bahwai masih ada pelestari kebudayaan yang masih eksis hinga saat ini. Mari kita lestarikan warisan kebudayaan leluhur…..
Oleh: Mustafid
Blog Mustafid: http://mustafidwongbodo.blogspot.com/

KAMPUNG ADAT SINDANG BARANG

Kampung budaya sindangbarang terletak di desa pasir eurih kecamatan tamansari kabupaten Bogor Jawa Barat. Berjarak hanya 5 km dari kota bogor, atau 60 km dari kota Jakarta. Berada pada ketinggian 350 – 500 meter dpl, terdiri dari 14 RW dan 54 RT dengan jumlah penduduk mencapai 12000 jiwa. Mata pencaharian sebagian Pesar penduduk adalah menjadi pengrajin sendal sepatu dan petani. Penduduknya 90% beragama Islam dan masih memegang sistim kekeluargaan yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-harinya. Curah hujan di kampung budaya sindangbarang cukup sedang dan cuacanya berkisar antara 23 derajat C pada malam hari dan 30 derajat C pada siang hari.
Di Kampung budaya Sindangbarang terdapat 8 macam kesenian Sunda yang telah direvitalisasi dan  dilestarikan oleh para penduduknya. Disini terdapat pula situs-situs purbakala peninggalan kerajaan Pajajaran berupa Bukit-bukit berundak.Di sindangbarang setiap satu tahun sekali diselenggarkan upacara adat Seren Taun yaitu upacara ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil Panen dan hasil bumi yang diperoleh pada tahun ini dan berharap hasil panen tahun depan akan lebih baik lagi.
Untuk melestarikan kesenian tradisional di kampung budaya, maka diselenggarakan pelatihan tari dan gamelan untuk anak-anak muda secara gratis oleh kampung budaya. Anak-anak muda yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing maka akan dilibatkan dalam pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri.
Untuk melestarikan situs-situs purbakala , kampung budaya bekerja sama dengan FIB UI melakukan penelitian , dokumentasi dan menyelenggarakan seminar mengenai situs peninggalan kerajaan Pajajaran tersebut. Folklore mengenai Sindangbarang sendiri telah dicoba untuk dibukukan oleh teman-teman dari FIB UI.
Saat ini rumah-rumah adat dan tradisi budaya di Kp Budaya Sindangbarang telah direkontruksi dan direvitalisasi dengan bimbingan dan petunjuk dari Bapak Anis Djatisunda seorang Sesepuh Sindangbarang dan Budayawan Jawa Barat. Revitalisasi budaya dan rumah-rumah adat tersebut memang perlu dilakukan agar orang sunda tidak kehilangan jatidirinya.
Tinggal bersama kokolot merupakan salah satu keunikan di kampung budaya Sindangbarang. Karena merupakan kampung budaya maka para tamu akan merasakan suasana kehidupan perkampungan sehari-hari. Dimana para tamu akan tinggal bersama kokolot dan seniman yang memang tinggal di kampung budaya. Para tamu akan menemui suasana para ibu-ibu menumbug padi di saung lisung, memasak dengan menggunakan kayu bakar dan Hawu (kompor tradisional sunda),melihat para petani bercocok tanam, belajar kesenian tradisional dll
.:: Nilai Sejarah
Sindangbarang, nama tersebut telah dikenal dan tercatat dalam babad pakuan / pajajaran sebagai salah satu daerah penting kerajaan sunda dan pajajaran. Hal ini disebabkan di sindangbarang terdapat salah satu keraton kerajaan tempat tinggalnya salah satu istri dari prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan penguasa sindangbarang saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan Putra Prabu Siliwangi dan Kentring manik mayang sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan di Sindangbarang.
Sampai saat ini masih ada peninggalan purbakala berupa Taman Sri bagenda di Sindangbarang, yaitu taman yang berupa kolam dengan panjang 15 X 45 meter, dan 33 buah titik Punden Berundak.
 Di  Sindangbarang terdapat Upacara Adat Seren Taun, yaitu merupakan upacara pesta panen raya masyarakat adat Sunda Ladang pada jaman dahulu kala sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Upacara ini telah berlangsung sejak masih jayanya kerajaan Pajajaran dan berlangsung hingga kini. Diselenggarakan setiap tahun pada bulan Muharam. Pada upacara Seren Taun semua masyarakat desa pasir eurih terlibat, bahkan tamu-tamu dari seluruh jawa barat pun selalu hadir untuk menyaksikan. Upacara ini berlangsung selama 4 hari meliputi upacara ritual dan penampilan kesenian tradisional.

.:: Nandur

Para turis asng sedang belajar nandur bersama kokolot
 
                                                             
.::  Angklung Gubrag

Rombongan Angklung Gubrag memasuki alun-alun kajeroan pada Seren Taun Guru Bumi 2008
 
.::  Ngaleut

Ribuan warga desa Pasir Eurih tampak berbondong-bondong menuju tempat upacara Seren Taun Guru Bumi 
 
 
 .::  Barisan Rengkong

Barisan Rengkong (pembawa padi) berjalan diikuti oleh rombongan kokolot dan dongdang
 
Pare hasil panen
 
Padi hasil panen dibawa barisan rengkong

Selasa, 31 Agustus 2010

KAMPUNG ADAT

PENGANTAR
Tulisan ini, bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai berbagai tradisi yang masih hidup dan dipertahankan oleh masyarakat Kampung adat. Dan diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah kebudayaan. Juga bisa dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengoperasionalkan program-program pembangunan dengan mempertimbangkan aspek-aspek budaya masyarakat.
Kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya. Atau merupakan hasil kumulasi dari seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungnya dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan nyata. Kebudayaan bukanlah milik perseorangan melainkan milik masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kebudayaan (Harsojo, 1982 : 144). Kesinambungan hidup, masyarakat dari masa ke masa terjaga dengan adanya kebudayaan, melalui pewarisan sejumlah tradisi yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan merupakan akumulasi kebiasaan-kebiasaan hidup yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat tersebut. Yudistira Garna dalam makalahnya mengenai perubahan sosial di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi yang ada di dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial yang berwujud mapan, baik mapan sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberi pedoman tingkah laku dan tindakan anggota suatu masyarakat. Tak mengherankan kalau tradisi merupakan warisan sosial budaya yang selalu ingin dipertahankan oleh warga masyarakat pendukungnya sebagai identitas penting kehidupan mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam suatu kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu. Kebebasan individu tersebut memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama. Dengan demikian, di kemudian hari ia akan menjadi bagian dari kebudayaan atau mungkin beberapa aspek dari lingkungannya akan mempengaruhi perubahan yang memerlukan proses adaptasi.
Gelombang modernisasi merupakan fenomena sosial yang menyertai dinamika hidup masyarakat. Modernisasi yang dalam hal ini diartikan sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang (Koentjaraningrat, 1983 : 140-141), semakin dipertajam dengan berlangsungnya era globalisasi seperti sekarang ini, yang merebak ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Modernisasi sebagai konsep dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang bersifat tradisi, dan satu pikiran yang hendak menyesuaikan soal-soal yang sudah menetap dan menjadi adat kepada kebutuhan-kebutuhan yang baru (Harsojo, 1982 : 265). Sementara itu globalisasi / era kejagatan seringkali dimuati unsur-unsur budaya asing yang keberadaannya perlu dikaji lebih jauh kesesuaiannya dengan kebudayaan kita.
Menghadapi fenomena-fenomena sosial tersebut, tatanan hidup masyarakat yang berupa sejumlah tradisi penting dan menjadi pedoman hidup suatu masyarakat eksistensinya dipertaruhkan. Dalam hal ini, Yudistira Garna berpendapat bahwa pengaruh luar cenderung merupakan suatu kekuatan mutlak yang tidak mudah ditolak oleh masyarakat setempat, tetapi walaupun demikian kebudayaan tradisional memiliki mekanisme untuk menghindarkan diri atau memiliki strategi budaya yang tidak secara mentah-mentah tertelan pengaruh luar tersebut. Lebih jauh dijelaskan bahwa dinamika sosial yang terjadi ditunjukkan oleh cara-cara pengambilalihan unsur sosial atau budaya luar yang karena menghadapi ruang dan waktu memerlukan sikap dan tindakan yang akomodatif dari para anggota masyarakat yang hakekatnya tiada lain adalah untuk mengembangkan kehidupan mereka.
Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa. Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan maupun yang diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat yang hidup dalam sebuah lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya, seperti :
1. Kelompok Masyarakat adat Kampung Kuta di Cisaga Kabupaten Ciamis
2. Kelompok Masyarakat adat Kampung Naga di Salawu Kabupaten Tasikmalaya
3. Kelompok Masyarakat adat Kampung Pulo Panjang di Leles / Cangkuang Kab. Garut
4. Kelompok Masyarakat adat Kampung Dukuh di Pemungpeuk Kabupaten Garut
5. Kelompok Masyarakat adat Kampung Mahmud di Margahayu Kabupaten Bandung
6. Kelompok Masyarakat adat Kampung Ciptarasa, Bayah, Citorek, Cicemet, Sirnarasa, di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi
7. Kelompok Masyarakat adat Kampung Urug di Kiarapandak - Cigudeg Kabupaten Bogor
8. Kelompok Masyarakat adat Kampung Baduy / Kanekes di Leuwidamar Kabupaten Lebak.
Kampung-kampung adat tersebut di atas merupakan perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadatnya. Hal itu akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung adat, hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suatu kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Dengan demikian, Kampung adat adalah potret masyarakat yang mampu melepaskan keterikatan akan perkembangan modernisasi juga pengaruh globalisasi informasi yang tengah melanda seluruh pelosok dunia.
Dengan ciri fisik seperti bentuk rumah yang masih mempergu-nakan arsitektur tradisional dan dengan segala bentuk pantangan yang harus dipatuhi tanpa reserve.
Kesahajaan hidup dan lingkungan kearifan tradisional adalah ciri mandiri dalam segala tingkah lakunya, sehingga dinamika hidupnya selalu diwarnai oleh keterikatan dirinya akan pedoman hidup yang telah mempranata dan merupakan harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Masyarakat Kampung adat dengan kearifannya mampu bertahan hidup 'survive' dan tidak melepaskan kekhasannya yang menjadi ciri mandiri jati dirinya.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan informasi, pengetahuan, dan pemahaman tentang kondisi budaya yang dimiliki setiap kelompok masyarakat tersebut, dalam rangka mengisi dan memperkaya khasanah budaya Indonesia umumnya dan Jawa Barat khususnya. Untuk sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat adat, di bawah ini akan penulis paparkan gambaran Kampung adat Naga di Tasikmalaya.
Kampung Adat Naga di Tasikmalaya
Kampung Naga itu sendiri secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Dari Tasikmalaya menuju Kampung adat Naga berjarak 30 km, sedangkan dari Garut jaraknya 26 km. Adapun letak Desa Neglasari ke berbagai pusat pemerintahan, di antaranya ke ibukota kecamatan jaraknya mencapai 5 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit; ke ibukota kabupaten berjarak 33 km dengan waktu tempuh 1 jam; sedangkan ke ibukota provinsi jaraknya mencapai 80 km yang bisa ditempuh dalam waktu 3 jam.
Menurut data potensi desa, bentuk permukaan tanah wilayah Desa Neglasari berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatagorikan sedang. Dari luas wilayah yang ada, sebagian besar digunakan untuk pertanian tanah kering, ladang, dan tegalan. Adapun selebihnya terpakai untuk perumahan dan pekarangan; sawah yang terdiri atas sawah teknis, sawah setengah teknis, dan sawah sederhana; serta peruntukan lainnya seperti pekuburan, tanah desa, dan sebagian lagi merupakan tanah milik negara.
Penduduk Desa Neglasari tinggal tersebar di 4 Rukun Warga (RW) yang terbagi lagi ke dalam 19 Rukun Tetangga (RT). Salah satu RW dan RT-nya adalah perkampungan adat Naga. Dalam kehidupan masyarakat di desa tersebut agama Islam merupakan satu-satunya agama yang dianut dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh mereka. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau nuansa Islami begitu kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat di desa tersebut. Keselarasan dan keharmonisan hubungan antarwarga masyarakat terjalin dengan baik, sehingga mereka terjaga dari hal-hal yang dapat mengganggu kedamaian hidup mereka.
Untuk menjaga kelangsungan hidup, masyarakat Kampung Naga memiliki sumber mata pencaharian yang cukup beragam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka lebih banyak yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian tanah sawah dan perladangan tanah kering, baik yang statusnya sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Adapun diversifikasi matapencaharian lainnya yang ditekuni masyarakat Desa Neglasari bisa dikatakan cukup bervariasi, mulai dari perajin, petani, tukang cukur, dukun bayi, pedagang, hingga pegawai negeri.
Kampung Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang tampak spesifik dan khas dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu kukuh memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, tampak tak bergeming terhadap apa yang terjadi di luar kehidupan mereka. Padahal sebagaimana kita ketahui pada era globalisasi yang melanda seluruh dunia seperti sekarang ini, sungguh tidaklah mudah untuk menepis dan menyeleksi berbagai unsur budaya luar yang masuk ke dalamnya. Modernisasi pada berbagai aspek kehidupan pun tidak bisa dielakkan lagi, terjadi baik disengaja maupun tidak. Meskipun gelombang modernisasi melanda berbagai kelompok masyarakat, tak terkecuali masyarakat yang berada di sekitar perkampungan masyarakat Kampung Naga, tidak berarti mereka pun harus hanyut di dalamnya. Mereka tetap hidup sebagaimana adanya dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas.
Keteguhan mereka dalam memegang akar budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Kampung Naga, teraktualisasikan melalui berbagai aspek kehidupan seperti dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam sistem budaya masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka peninggalannya mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat suci atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di Kampung adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut dirawat serta diurus oleh seorang wanita tua yang masih dekat garis keturunannya.
Meskipun penduduk Kampung Naga dan sa-Naga adalah penganut agama Islam yang taat, mereka pun tetap memegang teguh adat istiadat yang telah turun temurun. Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, mereka menjalankan dan memelihara adat istiadat itu.
Kendati pun mereka dianggap sebagai masyarakat yang teguh memegang adat istiadat, masih memungkinkan bagi mereka untuk menerima pengaruh dari luar sepanjang tidak merusak atau mengganggu kehidupan adat istiadat warisan budaya nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pancen untuk memelihara dan melestarikan budayanya. Apabila dilanggar, berarti durhaka kepada nenek moyang yang seharusnya mereka junjung tinggi. Mereka mengatakan sieun doraka 'takut durhaka'.
Dari uraian di atas, mengenai salah satu kampung adat, yaitu Kampung Adat Naga yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, kita dapat mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) yang dimiliki suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang bersifat kaku atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi sebagai sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup, norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi, sistem religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih didukung oleh masyarakat tersebut.
Selanjutnya, bahwa kehidupan di seluruh masyarakat kampung adat yang ada di Jawa Barat, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang sederhana sesuai dengan pedoman hidupnya. Sehingga wujud kebudayaan yang spesifik sangat berpengaruh pada pola-pola kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup anggota masyarakatnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat kampung-kampung adat yang terkurung oleh gelombang modernisasi, tidak membiarkan diri hanyut di dalamnya. Mereka berupaya mempertahankan eksistensinya melalui kekuatan spiritual, seperti yang tercermin dalam norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Secara tidak sadar mereka mengaktualisasikan diri melalui sistem pengetahuan tradisional yang menjadi dasar dan pedoman akan kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran nasional, dan kemasya-rakatan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengetahuan suatu masyarakat, merupakan identifikasi dari tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki masyarakat tersebut. Maka dengan demikian sistem pengetahuan dapat pula dijadikan barometer bagi tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Hal itu disebabkan karena sistem pengetahuan merupakan aktualisasi dari segala sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang secara empiris dapat dirasakan, dilaksanakan, dilestarikan, dan dipedomani sebagai sesuatu yang dapat memberikan keseimbangan dalam kehidupannya.
Sistem pengetahuan ini pun mengatur seluruh aktivitas hidup dan kehidupan untuk keseimbangan dan berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sistem pengetahuan suatu masyarakat tercakup dalam segala aspek yang mengatur hidup dan perilaku manusia.
Begitu pula sistem pengetahuan yang ada dan dimiliki oleh masyarakat adat Kampung-kampung adat di Jawa Barat, adalah merupakan manifestasi dan aktualisasi dari seluruh aktivitas masyarakatnya dalam berinteraksi untuk mencari keseimbangan baik dirinya - orang per orang - maupun orang dengan alam sekelilingnya. Bahkan di samping itu, sistem pengetahuan ini dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi arus budaya luar yang mencoba memasuki wilayah budaya miliknya. Dengan kata lain bahwa pengetahuan mengenai pamali, teu wasa, buyut, atau tabu yang berlaku di kampung-kampung adat merupakan salah satu bentuk penyeimbang dalam berinteraksinya. Pandangan mengenai masyarakat kampung adat adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi warisan nenek moyangnya adalah benar, tetapi masyarakat kampung adat tersebut tidak mengisolir diri dari masyarakat di sekitarnya, mereka bersama-sama dengan anggota masyarakat lain ikut berpartisipasi secara aktif. Mereka berintegrasi dengan masyarakat lainnya terutama dalam kepentingan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama pula.
Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan sebutan pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan kampung adat sendiri.
Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya khususnya untuk Kampung Naga, seperti yang tertuang dalam tiga kata : amanat, wasiat, dan akibat. Ketiga ungkapan ini adalah bentuk pengetahuan yang harus ditaati, dilaksanakan, dan dipedomani sebagai ajaran yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupannya. Ketiga ungkapan itu mengandung fungsi nilai-nilai filosofis di samping fungsi sosial dan fungsi nilai religius magis.
Kampung-kampung adat di Jawa Barat yang memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, kukuh dalam memegang falsafah hidup, tak bergeming akan perubahan jaman; di mana gelombang modernisasi dan globalisasi yang terus melanda. Arus modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan yang menggilas seluruh aspek kehidupan, sehingga kita sebagai manusia yang hidup di jamannya secara langsung ikut pula dalam perubahan-nya, baik yang terjadi dalam tata nilai maupun dalam norma-norma. Salah satu dampaknya membuat manusia menjadi schinzofrenia 'terpecah kepribadiannya', dan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai sakral menjadi profan.
Kampung-kampung adat jika dikaji dari segi budaya, termasuk kampung adat yang mampu mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya Kampung-kampung adat tersebut pernah menghadapi berbagai masalah bahkan sampai sekarang di mana era globalisasi melanda dunia, mereka tak bergeming dalam kepatuhan dan kelestarian sistem budaya yang dianut sejak dahulu. Budaya yang mengatur semua gerak langkahnya, adalah benteng yang kokoh dan menjadi pegangan erat kaumnya. Sehingga nuansa perubahan di luar dirinya tidak menjadi beban berat.
Kelestarian budaya masyarakat kampung adat dapat diukur dari potret kesahajaan hidup dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam kesederhanaan, akan tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan kearifan yang sangat dalam. Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran kekayaan batin mereka, dan itu merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka, sehingga merupakan panutan bagi masyarakatnya.
Dalam sistem kepemimpinan pada umumnya, di kampung-kampung adat bersifat kokolot sentris, puun sentris, olot sentris, atau kuncen sentris, artinya segala bentuk kegiatan selalu berpusat kepada mereka selaku pimpinan yang secara turun menurun. Kampung adat sebagai pranata sosial memberikan ciri bahwa adat istiadat adalah ciri utamanya. Sehingga regenerasi pun akan terus berlanjut dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.
Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat kampung adat mampu berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan sehari-hari, dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk perubahannya tidak mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran TV, bentuk rumah yang lebih artistik --dibanding dengan bentuk rumah yang lain--, radio, bentuk rumah dengan mempergunakan kaca, dan asesoris interior rumah (kehadiran kursi tamu). Hal itu diakui secara langsung oleh masyarakat. Apabila jauh mengusik dan menerobos tradisi, mereka tetap khawatir akan akibatnya.
Kearifan dalam menghadapi tantangan alam, di mana faktor alam sangat dibutuhkan, mereka dengan arif melaksanakan sistem teknologi penjagaan alam yang alami, dengan menjaga leuweung tutupan, leuweung larangan, atau leuweung karamat sebagai penyeimbang sehingga terjadi keselarasan antara kelestarian hutan lindung dengan manusia. Di samping itu dalam menyelaraskan hidup dengan keadaan alam -- karena keadaan kampung adat sebagian besar yang ada di Jawa Barat terletak di sebuah lengkob 'lembah' dengan kontur tanah yang bertebing, (lihat kampung adat Naga, Dukuh, Kuta, dan Urug) dan sebagian lagi ada di badan bukit, seperti Kampung Adat Ciptarasa-- maka penyesuaian dalam mendirikan rumah, mereka membuat sengked batu 'trap-trap dari batu' antara pelataran rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Bahkan dalam pembuatan rumah pun menabukan tembok, untuk menjaga kestabilan tanah.
Bukan suatu kebetulan bahwa dalam Kampung Adat, kita menemukan kearifan-kearifan dan nilai-nilai falsafah hidup dalam menjaga kelestarian tradisi yang telah melembaga, karena mereka menyadari bahwa hanya dengan melestarikan tradisinyalah eksistensi hidupnya akan lebih mantap. Kampung-kampung adat merupakan kampung yang memiliki keunikan tersendiri; khususnya dalam nilai-nilai luhur dan falsafah hidup, dalam menjalankan salah satu tradisi Sunda yang dipedomani sebagai satu ajaran oleh masyarakatnya.
Budaya yang dipedomaninya, merupakan pegangan anggota masyarakat yang relevan dengan situasi dan kondisi alam sekitarnya. Bahkan menjadi benteng penghalang bagi pergeseran nilai-nilai yang diakibatkan adanya gelombang modernisasi dan globalisasi.
Kampung-kampung adat sebagai kampung tradisional dapat dijadikan sebuah musium budaya, karena memiliki keunikan budaya. Keunikan budaya ini adalah mozaik budaya Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya yang sangat penting bagi para pakar untuk mengungkap lebih jauh nilai-nilai dan falsafah hidup manusia dalam memberikan informasi bagi kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia umumnya.

BADUY

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes.
Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
PEMBAGIAN SUKU BADUY
1. Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Baduy Dalam antara lain:
• Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
• Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
• Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Puun)
• Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
• Menggunakan Kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2. Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.
Penyebab
• Mereka telah melanggar adat masyarakat Baduy Dalam.
• Berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam
• Menikah dengan anggota Baduy Luar
Ciri-ciri masyarakat
• Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Baduy Dalam.
• Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam.
• Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
• Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
• Mereka tinggal di luar wilayah Baduy Dalam.
Hukum di didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.
Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.

Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.


KAMPUNG NAGA
Upacara-upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga ialah Upacara Menyepi, Upacara Hajat Sasih, dan Upacara Perkawinan.
Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.
Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
1. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
2. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
3. Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
4. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
5. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi Ageung.
Acara selnjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.
Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam
'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka


KAMPUNG PULO
Kampung Pulo
Kampung pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kampung Pulo ini sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, kecamatan Leles, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat.
Adapun batas administrasi dari Kampung Pulo adalah sebagai berikut:
Utara : desa Neglasari kecamatan Kadungora
Selatan : desa Margaluyu dan desa Sukarame kecamatan Leles
Timur : desa Karang Anyar dan desa Tambak Sari kecamatan Leuwigoong
Barat : desa Talagasari kecamatan Kadungora dan desa Leles Kecamatan Leles

Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya beragama Hindhu, lauli Embah Dalem Muhammad singgah di daerah ini karena ia terpaksa mundur karema mengalami kekalahan pada penyerangan terhadap Belanda. Karena kekalahan ini Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram karena malu dan takut pada Sultan agung. Beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat kampong Pulo. Embah Dalem Arif Muhammad beserta kawan-kawannya menetap di daerah Cangkuang yaitu Kampung Pulo. Sampai beliau wafat dan dimakamkan di kampumg Pulo. Beliau meninggalkan 6 orang anak Wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % masyarakat kampong Pulo beragama Islam tetapi mereka juga tetap melaksanakan sebagian upacara ritual hindhu.


Keterangan Denah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo :
1. Rumah Kuncen
2. Rumah Adat
3. Rumah Adat
4. Rumah Adat
5. Rumah Adat
6. Rumah Adat
7. Mesjid Kampung Pulo

Dalam adat istiadat Kampung Pulo terdapat beberapa ketentuan yang masih berlaku hingga sekarang yaitu :
• Dalam berjiarah kemakam-makam harus mematuhi beberapa syarat yaitu berupa bara api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan dan serutu. Hal ini dipercaya untuk mendekatkan diri (pejiarah) kepada roh-roh para leluhur.

• Dilarang berjiarah pada hari rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkennankan bekerja berat,begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut digunakan unutk mengajarkan agama. Karena menurut kepercayaan bila masyarakat melanggarnya maka timbul mala petaka bagi masyarakat tersebut.

• Bentuk atap rumah selamanya harus mamanjang (jolopong)

• Tidak boleh memukul Goong besar

• Khusus di kampong pulo tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi dan lain-lain.

• Setiap tanggal 14 bulan Maullud mereka malaksanakan upacara adapt memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakna dan mendapat berkah. Yang berhak menguasai rumah- rumah adapt adalah wanitadan diwariskan pula kepada anak perempuannya. Sedangkan bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus meninggalkan kampong tersebut setelah 2 minggu.
Desa Cangkuang terletak diantara kota Bandung dan Garut yang berjarak +-2 km dari kecamatan Leles dan 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Kondisi lingkungan di Kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik, kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat Visabilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah.

Sumber daya listrik untuk keperluan penerangan dikawasan ini berasal dari PLN yang alirannya diambil secara tidak langsung melalui salah satu rumah penduduk di kampong Cangkuang. Sumber air bersih dikawasan ini beraal dari sumur dan air danau dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal. Berhubung karena tidak boleh adanya bangunan lain yang dibangun di kampung pulo maka di kampong Pulo tersebut tidak terdapat fasilitas Wisata Lainnya.
Kampung pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kampung Pulo ini sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, kecamatan Leles, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat. Adapun batas administrasi dari Kampung Pulo adalah sebagai berikut:
Utara : desa Neglasari kecamatan Kadungora Selatan : desa Margaluyu dan desa Sukarame kecamatan Leles Timur : desa Karang Anyar dan desa Tambak Sari kecamatan Leuwigoong Barat : desa Talagasari kecamatan Kadungora dan desa Leles Kecamatan Leles
Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya beragama Hindu, lauli Embah Dalem Muhammad singgah di daerah ini karena ia terpaksa mundur karema mengalami kekalahan pada penyerangan terhadap Belanda. Karena kekalahan ini Embah Dalem Arif Muhamad tidak mau kembali ke Mataram karena malu dan takut pada Sultan agung. Beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat kampung Pulo. Embah Dalem Arif Muhammad beserta kawan-kawannya menetap di daerah Cangkuang yaitu Kampung Pulo. Sampai beliau wafat dan dimakamkan di kampumg Pulo. Beliau meninggalkan 6 orang anak Wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing - masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100% masyarakat kampung Pulo beragama Islam tetapi mereka juga tetap melaksanakan sebagian upacara ritual Hindu.
Keterangan Denah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo : 1. Rumah Kuncen 2. Rumah Adat 3. Rumah Adat 4. Rumah Adat 5. Rumah Adat 6. Rumah Adat 7. Mesjid Kampung Pulo
Dalam adat istiadat Kampung Pulo terdapat beberapa ketentuan yang masih berlaku hingga sekarang yaitu : Dalam berjiarah kemakam-makam harus mematuhi beberapa syarat yaitu berupa bara api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan dan serutu. Hal ini dipercaya untuk mendekatkan diri (pejiarah) kepada roh-roh para leluhur.
Dilarang berjiarah pada hari rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkennankan bekerja berat, begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut digunakan untuk mengajarkan agama. Karena menurut kepercayaan bila masyarakat melanggarnya maka timbul mala petaka bagi masyarakat tersebut.
-Bentuk atap rumah selamanya harus mamanjang (jolopong). -Tidak boleh memukul Goong besar. -Khusus di kampung pulo tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi dan lain-lain.
Setiap tanggal 14 bulan Maullud mereka malaksanakan upacara adat memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakna dan mendapat berkah. Yang berhak menguasai rumah-rumah adat adalah wanita dan diwariskan pula kepada anak perempuannya. Sedangkan bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus meninggalkan kampong tersebut setelah 2 minggu.
Desa Cangkuang terletak diantara kota Bandung dan Garut yang berjarak +-2 km dari kecamatan Leles dan 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Kondisi lingkungan di Kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik, kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat Visabilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah.
Sumber daya listrik untuk keperluan penerangan dikawasan ini berasal dari PLN yang alirannya diambil secara tidak langsung melalui salah satu rumah penduduk di kampung Cangkuang. Sumber air bersih dikawasan ini berasal dari sumur dan air danau dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal. Berhubung karena tidak boleh adanya bangunan lain yang dibangun di kampung pulo maka di kampung Pulo tersebut tidak terdapat fasilitas Wisata Lainnya.


KAMPUNG CIPTA GELAR
Masyarakat kasepuhan* Banten Kidul adalah masyarakat agraris yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun yang tersebar meliputi 3 kabupaten yaitu kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.
*Kasepuhan dalam bahasa sunda adalah kata yang mengacu pada golongan masyarakat yang masih bertingkah laku sesuai adat istiadat lama.
Mereka tinggal di daerah ketinggian dengan populasi penduduk kurang lebih 30.000 jiwa dan menempati 569 kampung kecil yang termasuk kedalam 360 kampung besar.

Kasepuhan memiliki keterikatan sejarah dengan salah satu kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Siliwangi itu, Kasepuhan Banten Kidul kini telah berumur 640 [1368 – 2008], dengan pusat pemerintahan adatnya sekarang berada di kampung gede Ciptagelar, Cikarancang, Cicemet, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi.
Nama pemimpin adat [sesepuh girang ] adalah Abah Ugi, yang memulai memegang tampuk kepemimpinan sejak tahun 2007 di usia 23 tahun, sepeninggal ayahanda nya yang kita kenal dengan Abah Anom
Profil Kampung Gede
Kampung Gede Ciptagelar berada pada posisi koordinat S 06° 47` 10,4`` ; BT 106° 29` 52’’, di ketinggian 1200 mdpl dengan jumlah populasi masyarakatnya 250 jiwa dalam 60 kepala keluarga.
Terletak di bawah Gunung Halimun yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan gunung Salak. Halimun atau kabut sebagai sebutan kawasan itu karena setiap harinya tiap pukul 16.00 biasanya kabut menyelimuti area itu.

Tempat baru ini berjarak 9km dari Ciptarasa kearah utara memasuki hutan TNGH Halimun dengan jalanan menanjak dan menurun yang hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda2.
Akses masuk ke wilayah ini dari
Timur Parung Kuda dengan mobil Off road,
Selatan Pelabuhan Ratu dengan mobil dan motor,
Barat Sirnaresmi, cicadas dengan mobil off road.
Banten,Lebak, ikotok, Cisungsang
Utara Leuwi Liang, Nanggung, Cisangku, PTP Nirmala
Ciptagelar adalah nama kampung gede yang baru ditempati sejak April 2001 sebagai pusat pemerintahan Sesepuh Girang Kasepuhan Banten Kidul, sebelumnya, pusat pemerintahan berada di kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, kabupaten Sukabumi. Ciptarasa sekarang terdiri dari 2 RT dan 1 RW berada di dipunggung Gunung Sangiang dan Gunung Bodas, di ketinggian 750mdpl.
Kampung Ciptarasa sendiri didirikan oleh Abah Anom yang merupakan pindahan dari kampung Linggar Jati – Cisarua yang berjarak 350m dibawahnya.
Kampung Ciptarasa ini mudah dijangkau dari pelabuhan Ratu dengan kendaraan roda 4 hingga halaman Imah Gede. Setelah menetap selama 17 tahun, kampung Gede berpindah kembali ketempat baru berdasarkan wangsit yang diterima Abah dan harus dilaksanakan oleh sesepuh girang dan baris kolot.
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti ‘kolot’ atau ‘tua’ dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model ‘sistem kepemimpinan’ dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti ‘adat kebiasaan tua’ atau ‘adat kebiasaan nenek moyang’. Menurut Anis Djatisunda (1984), nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan.
Pada era 1960-an, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar mempunyai nama khusus yang dapat dianggap sebagai nama asli masyarakat tersebut, yaitu Perbu. Nama Perbu kemudian hilang dan berganti menjadi kasepuhan atau kasatuan. Selain itu, mereka pun disebut dengan istilah masyarakat tradisi.
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar (selanjutnya ditulis Kampung Ciptagelar) merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan “hijrah wangsit” ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adapt memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar ‘artinya terbuka atau pasrah.
Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih drsebabkan karena “perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini dlperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yanng hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.
Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat.
Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi. Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkimya. – Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki.
Guna mencapai lokasi tujuan, ada beberapa pilihan jalur jalan. Pilihan pertama adalah : Sukabumi – Pelabuhanratu. Pelabuhanratu – Cisolok berhenti di Desa Cileungsing. Dari Desa Cileungsing menuju Desa Simarasa dan berhenti di Kampung Pangguyangan. Di Karnpung Pangguyangan semua kendaraan roda empat di parkir dan selanjutnya dari kampung ini menuju Kampung Ciptagelar ditempuh dengan jalan kaki atau naik ojeg. Sebagai catatan, melalui jalur ini kendaraan pribadi hanya sampai di Kampung Pangguyangan mengingat kondisi jalan yang berat.